Pengajaran


SENTRALISASI DAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN

A.      PENGANTAR
Pada makalah ini dijelaskan ringkasan materi mengenai konsep sentralisasi dan desentralisasi (MBS), serta perbedaannya,  kasus-kasus di lapangan, dan refleksinya. Hal ini bertujuan memberikan pemahaman awal mengenai konsep sentralisasi dan desentralisasi pendidikan yang digunakan pada makalah ini. Penyajian kasus-kasus yang ditemukan di lapangan dan refleksinya disajikan sebagai terapan dari konsep sentralisasi dan desentralisasi pendidikan yang terjadi di Indonesia. Berikut akan di paparkan mengenai beberapa konsep yang dikemukakan tersebut.

B. RINGKASAN MATERI
1.  Sentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan
a. Sentralisasi Pendidikan
Sentralisasi adalah pemusatan kewewenangan, seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Dadalam hal ini, daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut Undang-Undang. Menurut ekonomi manajemen, sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah.
Indonesia sebagai negara berkembang dengan berbagai kesamaan ciri sosial budayanya, juga mengikuti sistem sentralistik yang telah lama dikembangkan pada negara berkembang. Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba seragam, serba keputusan dari atas, seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat tingkat relevansinya bagi kehidupan anak dan lingkungannya.
Konsekuensinya, posisi dan peran siswa cenderung dijadikan sebagai objek agar yang memiliki peluang untuk mengembangkan kreatifitas dan minatnya sesuai dengan talenta yang dimilikinya. Dengan demikian, sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, maka upaya mewujudkan pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati, memiliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat menjadi sangat sulit untuk di wujudkan.
Sistem sentralisasi adalah sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama. Kebijakan tersebut merupakan kelemahan dari sistem sentralisasi itu sendiri. Sistem sentralisasi pendidikan memiliki juga pengaruh diantaranya;
  1. Totaliter penyelenggaraan pendidikan diwewenangi pusat.
  2. Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model pengembangan sekolah dan pembelajaran.
  3. Keseragaman pola pembudayaan masyarakat
  4. Melemahnya kebudayaan daerah
  5. Kualitas manusia yang robotik, tanpa inisiatif dan kreatifitas.
b. Desentralisasi Pendidikan
Secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan, yaitu: pertama, desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (propinsi dan distrik), dan kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah, sedangkan konsep desentralisasi pendidikan yang memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Desentralisasi di Indonesia sudah ada cukup lama, dimulai sejak tahun 1973, yaitu sejak diterbitkannya UU No. 5 tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pusat dan daerah. Hal tersebut terdapat pula pada PP No. 45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi melalui PP No. 8 tahun 1995. Menurut UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, desentralisasi dikonsepsikan sebagai penyerahan wewenang yang disertai tanggung jawab pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom (http://antonilamini.wordpress.com/2008/0 5/18/sentralisasi-dan-desentralisasi-pendidikan/ diunduh tanggal 9 Oktober 2011.)
Desentralisasi Community Based Education mengisyaratkan terjadinya perubahan kewenangan dalam pemerintah antara lain:
1)   Perubahan berkaitan dengan urusan yang tidak diatur oleh pemerintah pusat, secara otomatis menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan pendidikan.
2)   Perubahan berkenaan dengan desentralisasi pengelolaan pendidikan. Dalam hal ini pelempahan wewenang dalam pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke daerah otonom, yang menempatkan kabupaten/kota sebagai sentra desentralisasi.
Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada orang-orang pada level bawah (daerah). Pada sistem pendidikan yang terbaru tidak lagi menerapkan sistem pendidikan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang tadinya diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat. Dari beberapa pernyataan tersebut dapat dinyatakan bahwa kegagalan desentralisasi di akibatkan oleh beberapa hal :
1.    Masa transisi dari sistem sentralisasi ke desentralisasi memungkinkan terjadinya perubahan secara tidak memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa.
2.    Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan daerah.
3.    Kemampuan keuangan daerah yang terbatas.
4.    Sumber daya manusia yang belum memadai.
5.    Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai.
6.    Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang.
7.    Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehilangan otoritasnya.
Selain dampak negatif tentu saja desentralisasi pendidikan juga telah membuktikan keberhasilannya antara lain:
1.    Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan.
2.    Mampu membangun partisipasi masyarakat sehingga melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan benar-benar dari oleh dan untuk masyarakat.
3.    Mampu menyelenggarakan pendidikan dengan memfasilitasi proses belajar mengajar yang kondusif, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas belajar siswa.
Selain itu, dikemukakan mengenai ciri-ciri sistem desentralisasi pendidikan berdasarkan http://antonilamini.wordpress.com/2008/\518/sentralisasi-dan-desentralisasi-pendidikan/ diakses tanggal 9 Oktober 2011. Ciri-ciri yang dimaksud adalah sebagai berikut.
  1. Mendorong terjadinya partisipasi dari bawah secara lebih luas.
  2. Mengakomodasi terwujudnya prinsip demokrasi.
  3. Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang sehingga dapat meningkatkan efisiensi.
  4. Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah secara optimal.
  5. Mengakomodasi kepentingan politik.
  6. Mendorong peningkatan kualitas produk yang lebih kompetitif.

2. Manajemen Berbasis Sekolah
a. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah (selanjutnya MBS) merupakan terjemahan dari school-based management (Syaifuddin dkk., 2008:5). Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. MBS merupakan paradigma baru dalam dunia pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap dengan kebutuhan setempat.
Syaifuddin dkk (2008:5) menjelaskan otonomi memang bermakna pemilikan kewenangan mengatur semua masalah secara mandiri. Namun, dalam konteks MBS di Indonesia, pelaksanaannya masih terikat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik secara nasional, maupun daerah. Artinya otonomi yang dimaksudkan di dalam penjelasan pasal 51 ayat (1) UU Sisdiknas No. 23 Tahun 2003 merupakan bentuk desentralisasi yang bersifat relatif dan mengacu kepada perundang-undangan dan peraturan yang berlaku baik di tingkat nasional maupun di daerah. Sungguh pun demikian, dengan MBS, tanggung jawab sekolah menjadi lebih besar. Sekolah dituntut untuk menunjukkan hasil kerjanya sehubungan dengan kewenangan lebih besar yang diperolehnya sebagai bentuk akuntabilitas, baik kepada warga sekolah maupun pemerintah.
Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan. Keuntungan atau dampak positif dari MBS ini adalah sebagai berikut.
  1. Kebijakan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua dan guru.
  2. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal
  3. Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
  4. Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancang ulang sekolah, dan perubahan perencanaan.
b. Tujuan MBS
            MBS yang ditandai dengan otonomi sekolah dan pelibatan masyarakat merupakan respon pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi antara lain diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat diperoleh antara lain melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem insentif dan disinsentif. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu.
c.    Manfaat MBS
MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategis MBS sesuai dengan kondisi setempat, sekolah dapat lebih meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada tugas. Selain itu, MBS mendorong profesionalisme guru dan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di sekolah.

d.   Prinsip MBS
Menurut Usman (2009:624), prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan MBS antara lain:
1.        Komitmen, kepala sekolah dan warga sekolah harus mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya menggerakkan semua warga sekolah untuk ber-MBS
2.        Kesiapan, semua warga sekolah harus siap fisik dan mental untuk ber-MBS.
3.        Keterlibatan, pendidikan yang efektif melibatkan semua pihak dalam mendidik anak.
4.        Kelembagaan, sekolah sebagai lembaga adalah unit terpenting bagi pendidikan yang efektif.
5.        Keputusan, segala keputusan sekolah dibuat oleh pihak yang mengerti tentang pendidikan
6.        Kesadaran, guru-guru harus memiliki kesadaran untuk membantu dalam pembuatan keputusan program pendidikan dan kurikulum
7.        Kemandirian, sekolah harus diberi otonomi sehingga memiliki kemandirian dalam membuat keputusan pengalokasian dana.
8.        Ketahanan, perubahan akan bertahan lebih lama apabila melibatkan stake holder sekolah.
Menurut Usman (2009:629), indikator bahwa MBS sudah berhasil di sekolah ditunjukkan oleh beberapa hal:
1.        Adanya kemandirian sekolah yang kuat
2.        Adanya kemitraan sekolah yang efektif
3.        Adanya partisipasi yang kuat dari masyarakat
4.        Adanya keterbukaan yang bertanggung jawab dan meluas dari pihak sekolah dan masyarakat
5.        Adanya akuntabilitas yang dapat dipertanggungjawabkan oleh sekolah.




C.  KASUS-KASUS DI LAPANGAN
Berdasarkan beberapa konsep yang telah dikemukakan, dapat diidentifikasi masalah atau kasus di lapangan yang terkait dengan pembahasan yang dilakukan. Kasus yang dikemukakan tersebut adalah sebagai berikut.
1.        Kemandirian sekolah yang tidak kuat menimbulkan bahwa sekolah tidak mampu menjalankan MBS dengan baik. Hal ini dapat dilihat bahwa adanya ketergantungan sekolah dengan pihak pusat. Artinya sekolah masih menunggu instruksi dari pusat. Misalnya menganai dana BOS, buku pelajaran, dan kurikulum (mulok).
2.        Kemitraan sekolah yang tidak efektif menyebabkan sekolah didak mampu menjalin kerja sama yang baik terhadap masyarakat. Dalam hal ini orang tua/wali murid. Ada beberapa sekolah yang bahkan jarang melaksanakan rapat bersama orang tua/wali murid mengenai kemajuan dan perkembangan sekolah, baik siswanya, sarananya, maupun organisasinya. Selain itu juga, hal ini membuktikan bahwa partisipasi masyarakat terhadap sekolah tidak begitu kuat, sehingga MBS tidak dapat berperan dengan baik.
3.        Tidak adanya keterbukaan yang bertanggung jawab dan meluas dari pihak sekolah dan masyarakat. Serta tidak adanya akuntabilitas yang dapat dipertanggungjawabkan oleh sekolah. Maksudnya ditdak ada kejelasan dana dan alokasi dana yang disusun sekolah. Dengan demikian masalah dana hanya manjadi masalah interen sekolah saja, sehingga tidak adanya akuntabilitas yang bertanggung jawab dari sekolah kepada masyarakat.
Desentralisasi terjadi pada MBS kewenangan-kewenangan dalam hal: penentuan buku pelajaran, metode pembelajaran, tanggung jawab dalam pelaksanaan rencana pengembangan sekolah cenderung berlaku di tingkat sekolah dan tidak tergantung pada tingkat desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. (Alisjahbana, Armida S. 2000. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan. Bandung: Universitas Padjadjaran)
Dalam penilaian Zaini, saat ini belum ada aturan yang jelas tentang pelaksanaan otonomi pendidikan. Misalnya, masalah dalam pembuatan kurikulum pendidikan di tingkat SD hingga SLTA. Ia khawatir, jika pada suatu saat ada daerah yang ingin mengurangi pelajaran IPS dan memperbanyak pelajaran IPA dengan alasan potensi pertambangannya besar. Bahkan, demikian Zaini, di salah satu kabupaten di NTB sedang berkembang wacana untuk mengubah hari belajar. Latar belakangnya hanya karena mayoritas penduduknya pemeluk agama Islam yang taat, lalu pemerintah kabupaten setempat berniat meliburkan siswa pada hari Jumat dan menggantinya dengan hari Minggu. Ide lain yang berkembang berkaitan dengan waktu belajar adalah penerapan lima hari belajar. Di kabupaten lain, ada bupati yang memerintahkan dinas pendidikan untuk mengkaji kemungkinan belajar lima hari dengan memperpanjang jam belajar siswa di sekolah.
Sumber: (Otonomi Pendidikan Bukan Pekerjaan Mudah; Komas; kamis, 28 juni 2001 | 118 pembaca)


Kewenangan-kewenangan Pendidikan yang Dapat Didesentralisasikan
Pelaksana
Kasus
Organisasi dan poses belajar
Mengajar
Menentukan organisasi sekolah mana yang dapat diikuti seorang murid.
Waktu belajar di sekolah.
Penentuan buku yang digunakan.
Kurikulum.
Metode pembelajaran.
Manajemen guru
Memilih dan memberhentikan kepala sekolah.
Memilih dan memberhentikan guru.
Menentukan gaji guru.
Memberikan tanggung jawab pengajaran kepada guru.
Menentukan dan mengadakan pelatihan kepada guru.
Struktur dan perencanaan
Membuka atau menutup suatu sekolah.
Menentukan program yang ditawarkan sekolah.
Definisi dari isi mata pelajaran.
Pengawasan atas kinerja sekolah.
Sumber daya
Program pengembangan sekolah.
Alokasi anggaran untuk guru dan tenaga administratif (personnel).
Alokasi anggaran non-personnel.
Alokasi anggaran untuk pelatihan guru.

D.  REFLEKSI BERDASARKAN KASUS
Proses desentralisasi pada sektor pendidikan yang meliputi pemberian wewenangan yang lebih besar ke pemerintah daerah dalam alokasi anggaran dan perencanaan pendidikan di daerah, serta pemberian kewenangan yang lebih besar pada sekolah dalam manajemen guru, pendanaan, pemilihan kepala sekolah manajemen proses belajar-mengajar diharapkan akan meningkatkan kualitas pendidikan.
Berdasarkan beberapa pernyataan dan kasus-kasus yang ditemukakan di lapangan, sebagaiknya sekolah lebih memperhatikan kemandirinanya yang dalam mengambil kepurtusan. Adanya kemitraan sekolah yang efektif, yang melibatkan seluruh komponen sekolah. Adanya partisipasi yang kuat dari masyarakat, sehingga dapat menjalin kerjasama yang baik, dan dapat mencapai tujuan pendidikan nasional. Adanya keterbukaan yang bertanggung jawab dan meluas dari pihak sekolah dan masyarakat serta adanya akuntabilitas yang dapat dipertanggungjawabkan oleh sekolah.

E.  PETA KONSEP
Berdasarkan penjelassn yang telah dikemukakan, dapat dibuat peta konsep menganai penjelasan yang dikemukakan. Hal ini bertujuan memberi kemudahan pembaca mengenai memahami konsep sentralisasi dan desentralisasi pendidikan dan bagaimana hubungannya dengan MBS; konsep MBS, tujuan, mafaat, dan prinsipnya. Peta konsep yang dimaksud adalah sebagai berikut.








PEMERINTAH
PUSAT
 

Sentralisasi
Desentralisasi
Otonomi Daerah
MDS
Pengertian MDS
TujuanMDS
ManfaatMDS
PrinsipMDS
 









F.   RANGKUMAN
Berdasarkan pernyataan-pernyataan yang telah dikemukakan, dapat dinyatakan bahwa sentralisasi merupakan pemusatan wewenang yang diatur oleh pemerintah pusat. Desentralisasi merupakan pemberian wewenang atau otonomi kepada sekolah secara mandiri untuk mengembangkan potensi dan kareatifitas sekolah tersebut sesuai dengan potensi yang ada di sekolah masing-masing. Otonomi daerah merupakan kewenangan mengatur semua masalah secara mandiri. Dalam konsep MBS di Indonesia, pelaksanaannya masih terikat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik secara nasional, maupun daerah. Sekolah dituntut untuk menunjukkan hasil kerjanya sehubungan dengan kewenangan lebih besar yang diperolehnya sebagai bentuk akuntabilitas, baik kepada warga sekolah maupun pemerintah.
G. PENUTUP
Setelah membaca makalah ini, diharapkan dapat menambah wawasan pembaca menganai sentralisasi dan desentralisasi; serta bagaimana hubungannya dengan MBS. Sentralisasi adalah pemusatan kewewenangan, seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Dadalam hal ini, daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut Undang-Undang. Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada orang-orang pada level bawah (daerah). Pada sistem pendidikan yang terbaru tidak lagi menerapkan sistem pendidikan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang tadinya diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat. Selain itu diharapkan dapat memahami bagaimana konsep MBS, tujuan MBS, manfaat MBS, serta Prinsip MBS yang ada di Indonesia.

H.  KEPUSTAKAAN
Alisjahbana, Armida S. 2000. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan. Bandung: Universitas Padjadjaran.

Usman, Husaini. 2009. Manajemen: Teori Praktik, dan Riset Pendidikan Edisi 3. Jakarta: Bumi Aksara.

Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya
Syaifuddin, Mohammad dkk. 2008. Manajemen Berbasis Sokolah. Jakarta: Depdiknas.


Otonomi Pendidikan Bukan Pekerjaan Mudah; Komas; Kamis, 28 juni 2001 | 118 pembaca



1 komentar:

  1. ok thanks pak , alhamdullah materinya singkat padat , dapat juga tentang MBS

    BalasHapus