Rabu, 20 Agustus 2014

BUDAYA MELAYU
SEBAGAI PEMBENTUK KARAKTER ANAK BANGSA
(Sebuah Tinjauan Perlunya Mengetengahkan Budaya Melayu)

Oleh: Asnawi, S.Pd., M.Pd.

Budaya merupakan hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat. Bentuk budaya ini berupa pakaian, alat-alat rumah tangga, alat produksi, alat transportasi, alat komunikasi, dan sebagainya. Budaya Melayu merupakan hasil cipta manusia yang berkembang menjadi sebuah kebiasaan dan kebiasaan tersebut dilakukan sehari-hari. Kebudayaan Melayu juga sering disejajarkan dengan budaya lokal yakni sesuatu aktivitas yang sudah menjadi kebiasaan serta sulit untuk diubah. Hal ini membuktikan bahwa budaya Melayu merupakan kebiasaan yang didorong dari masyarakat itu sendiri dan luar masyarakat. Selain itu, budaya biasanya terjadi karena adanya dorongan dari dalam yakni masyarakat itu sendiri, dan dari luar masyarakat. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa budaya atau kebudayaan Melayu merupakan hasil cipta karya orang Melayu yang terjadi karena adanya perwujudan dari kehidupan dunia manusia, yang berupa kebiasaan sehari-hari. Namun yang menjadi permasalahan saat ini budaya Melayu tidak lagi diketengahkan sebagai pembentuk karakter bangsa. Oleh sebab itu, mari kita lestarikan kembali budaya lokal yakni budaya Melayu sebagai intruments pengembang karakter anak bangsa.
Selanjutnya, budaya dinyatakan sebagai sistem nilai yang merupakan hasil hubungan manusia dengan cipta rasa dan karsa. Sistem nilai yang menghasilkan cipta rasa dan karya tersebut berfungsi menumbuhkan gagasan-gagasan utama serta merupakan kekuatan pendukung penggerak kehidupan karakter bangsa. Budaya dinyatakan sebagai kompleksitas nilai yang dijadikan sebagai nalar kehidupan yang memberikan arahan dalam kegidupan seseorang dalam memiliki karakter.
Sebagai penggerak kehidupan, budaya dijadikan sebagai sarana pergaulan hidup manusia (sosial). Pergaulan hidup manusia dalam bermasyarakat yang mengandung nilai-nilai kebersamaan, senasib, sepenanggungan, solidaritas yang merupakan unsur pemersatu. Dengan demikian, kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya.
Orang Melayu memiliki identitas kepribadian pada umumnya yaitu  adat-istiadat Melayu, bahasa Melayu. Dengan demikian, seseorang yang mengaku dirinya orang Melayu harus beradat-istiadat Melayu, dan berbahasa Melayu. Maka dari itu jika diperhatikan adat budaya melayu maka tidak lepas dari ajaran kesopansantunan seperti dalam ungkapan pepatah, perumpamaan, pantun, syair, dan sebagainya menyiratkan norma sopan santun dan tata pergaulan orang Melayu. Aturan-aturan tentang beberapa segi kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha orang dalam suatu daerah yang terbentuk di Indonesia sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib tingkah laku anggota masyarakatnya. Di Indonesia, aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia itu menjadi aturan hukum yang mengikat dan disebut hukum adat.
Selain itu, kebudayaan Melayu merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi. Hal tersebut dijalankan serangkaian  dengan model-model kognitif yang dimiliki oleh manusia. Keberadaan hal-hal tersebut digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya. Dengan adanya aturan tersebut akan membentuk karakter anak bangsa yang lebih baik. Banyak karakter-karakter anak bangsa yang dapat terbentuk jika kita melestarikan kembali budaya Melayu, karena budaya Melayu merupakan suatu aturan yang bersifat tersistem dan dijadikan serangkaian norma untuk melihat tingkah laku baik atau tidaknya kebiasaan.
Dengan melestarikan dan mengetengahkan kembali budaya Melayu, berbagai karakter anak bangsa akan timbul dengan sendirinya. Hal tersebut disebabkan bahwa Budaya Melayu adalah budaya yang mengetengahkan kesopanan, gotong royong, dan rasa menghargai yang cukup tinggi. Dengan adanya dasar dan asas tersebut maka karakter anak bangsa jika telah melestarikan budaya Melayu dapat berkembang dengan baik sesuai dengan aturan dan norma-norma kemasyarakatan. Adapun beberapa karakter bangsa yang dapat dibentuk setelah melastarikan budaya Melayu adalah, seseorang akan lebih memiliki rasa religious, jujur, toleransi yang tinggi, displin,kerja keras, kretif, mandiri, demokrasi, antusias, semangat kebangsaan yang tinggi, cinta tanah air, menghargai, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli social, bertanggung jawab, dan memiliki kesabaran.
Semua karakter tersebut dapat terbentuk dapat terealisasi dengan baik apabila budaya Melayu dilestarikan dengan baik. Mari kita lestarikan budaya Melayu dengan sebaik-baiknya, karena budaya Melayu adalah budaya yang mampu memunculkan karakter anak bangsa. Dengan berkarakter kita akan dihormati orang, dengan karakter kita bermartabat, dan dengan karakter anada mkenjadi sukses. Berkarakterlah anda, sebab dengan karakter anda diakan menjadi insan yang lebih baik.







Jumat, 17 Januari 2014


PERBEDAAN PENDAPAT SEBAGAI PEMBENTUK HARMONISASI BUDAYA GLOBAL

PERBEDAAN PENDAPAT
SEBAGAI PEMBENTUK HARMONISASI BUDAYA GLOBAL

ASNAWI*
asnawi_smart89@yahoo.com


Pendapat merupakan anggapan mengenai suatu permasalahan yang akan dikemukakan. Pendapat tidak dapat dipisahkan dari pikiran. Manusia berpendapat melalui proses berpikir dan bernalar. Setiap individu memiliki pendapat yang berbeda-beda, hal ini disebabkan proses berpikir dan bernalar manusia berbeda-beda. Adanya perbedaan pendapat ditandai dengan ketidaksesuaian dan kertidakselarasan hubungan antarindividu. Berbagai anggapan menstimulus masyarakat bahwa perbedaan pendapat akan membentuk hubungan masyarakat yang tidak harmonis. Namun, anggapan demikian tidak dapat dibuktikan kebenarannya, faktanya hubungan antarmasyarakat tetap terjalin meskipun dalam kondisi kontas pendapat. Hal tersebut menarik untuk dijadikan penelaahan sebagai bahan sandingan dan penambah wawasan tentang indahnya hidup ditengan perbedaan. Perbedaan pendapat sebenarnya bukanlah masalah yang lumrah lagi dalam hubungan masyarakat. Oleh karena itu, penelaahan ini membuktikan bahwa pernyataan yang beranggapan bahwa perbedaan pendapat menyebabkan hubungan masyarakat tidak harmonis salah. Perbedaan pendapat dijadikan sebagai pembentuk harmonisasi budaya masyarakat global dalam menjalin hubungan bermasyarakat. Perbedaan pendapat dijadikan sebagai proses menjadikan budaya harmonis (harmonisasi) dalam perbedaan, buka menjadikan pertikaian dalam perbedaan. Adanya perbedaan pendapat dapat membentuk budaya dan karakter baru dalam hubungan bermasyarakat. Budaya-budaya yang akan muncul hasil harmonisasi perbedaan pendapat tersebut misalnya, masyarakat lebih menghargai orang lain, kewaspadaan terhadap orang lain tinggi, tingkat kemandirian membaik, tingkat kesopanan tinggi.
Munculnya rasa menghargai sesama akan memperkecil deminsi-dimensi perbedaan pendapat. Kemunculan dimensi tersebut diharapkan memberikan dampak yang baik antarindividu. Dengan adanya hal tersebut setiap individu dapat menimbulkan rasa akan toleransi pendapat terhadap sesama. Hasil dari deminsi-deminsi yang dihubungkan dengan interaksi tersebut mampu menciptakan budaya baru dalam menciptakan harmonisasi antarindividu atau masyarakat.
Budaya merupakan realisasi dari interaksi-interaksi sosial manusia. Budaya dijadikan sebagai produk akan interaksi antarindividu. Produk tersebut disusun berdasarkan pola-pola yang terbentuk akibat interaksi. Pola-pola yang terbentuk itu misalnya pola sikap harga-menghargai pendapat. Adanya sikap seperti ini mampu membantuk kebiasaan-kebiasan yang global dalam sebuah interaksi sosial. Kebudayaan global adalah budaya yang dapat diterima oleh setiap individu dalam melakukan interaksi sosial. Adanya hal ini membentuk pola kebiasaan baru terhadap hasil interaksi antarindividu, yang dapat memanipestasikan kepada budaya global, yakni budaya yang dapat diterima oleh pelaku interaksi sosial.
Adanya rasa menghargai pendapat orang lain, mengindikasikan pada kondisi emosional antarindividu. Emosi merupakan perasaan yang dapat merubah pola pikir seseorang dalam mengarungi kehidupan. Sikap menghargai pendapat dijadikan sebagai bahan dasar untuk memberikan penilaian terhadap kadar emosi seseorang. Semakin mampu seseorang menahan emosi, maka semakin mampu ia menerima kebuadayaan global yang ada. Budaya global yang dimaksud adalah keiklasan menerima pendapat orang lain sebagai dasar pola pembentuk pikiran dan emosi, dengan menjadikan seseorang sebagai pelaku interaksi sosial. Dengan demikian, adanya kebudayaan global membentuk pola interaksi sosial dan  menciptakan harmonisasi antarindividu dalam melaksanakan kehidupan yang membudaya.
Perbedaan pendapat yang terjadi dalam hubungan interaksi antarindividu dijadikan sebagai dimensi-dimensi yang mambudaya. Hal ini memberikan suatu pemahaman bahwa adanya dimensi tersebut dapat membentuk suatu budaya global antarindividu, dalam menjalankan kehidupan. Hal inilah yang dikatakan bahwa perbedaan pendapat sudah dijadikan sebagai kebiasaan-kebiasaan yang dianggap wajar, atau dalam konsep lain perbedaan pendapat dikatakan sebagai kebiasaan yang membudaya. Kebiasaan-kebiasaan yang dianggap wajar atau membudaya tersebut membentuk pola pikir yang berdasarkan akal dan rasio kearah tataran umum sebagai sarana pembentuk harmonisasi kehidupan masyarakat global.
Perbedaan pendapat dapat meningkatkan rasa waspada yang tinggi terhadap orang lain. Anggapan ini dibuktikan bahwa setiap manusia memiliki strategi bertutur dan bertindak yang berbeda-beda. Seseorang dapat memarjinalkan pendapat orang lain namun dengan cara yang tidak diketahui oleh pengemuka pendapat. Pembicara yang baik justru mampu mempersuasi pendengarnya agar terpengaruh dengan apa yang disampaikan. Hal inilah yang membuat tingkat kewaspadaan seseorang terhadap pendapat orang lain meningkat.
Strategi bertutur merupakan cara atau gaya yang dilakukan pembicara untuk mempengaruhi lawan bicara atau pembicara lain. Strategi ini berperan penting untuk menimbulkan efek positif terhadap tuturan penutur. Penutur yang baik memiliki strategi bertutur yang baik pula. Penutur yang menggunakan strategi tuturan tidak sesukanya menggunakan kata-katam, namun dilakukan melalui proses berpikir dan memilih diksi yang tepat untuk menyampaikan sebuah pernyataan. Tujuan digunakan atau dipilihnya kata-kata yang tepat itu bertujuan untuk memberi keyakinan kepada lawan tutur akan pendapat yang dikemukakannya.
Meningkatnya rasa waspada terhadap orang lain berakibat dari adanya perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat dengan dimensi kewaspadaan diyakini dapat meningkatkan harmonisasi antarpemberi pendapat yang berbeda-beda. Di mana kewaspadaan seseorang terhadap pendapat orang lain membuat kridebilitas atau derajat antarindividu semakin tinggi.  Hal ini berakibat bahwa seseorang tidak semena-mena terhadap pendapat orang lain, dan berusaha membuat orang lain percaya akan pendapat yang dikemukakan. Persaingan sepertinilah yang dapat menimbulkan budaya global terhadap antarindividu.  Budaya global adalah budaya yang dapat diterima secara umum untuk dijadikan kebiasaan yang bersifat wajar. Dengan demikian, dapat dinyatakan kewaspadaan akan pendapat orang lain dapat menimbulkan budaya global untuk dijadikan sebagai harmonisasi pembentuk kebiasaan-kebiasaan yang bersifat wajar, diterima secara umum, dapat dibuktikan kebenarannya, dan dapat diterima oleh pikiran manusia sebagai budaya waspada yang membudaya.
Selanjutnya, perbedaan pendapat diyakini dapat meningkatkan rasa kemandirian. Adanya perbedaan pendapat membuat kemandirian seseorang membaik. Perbedaan pendapat dijadikan sebagai sarana untuk menciptakan rasa mandiri pada antarindividu. Perbedaan pendapat bukanlah sesuatu yang sangat menakutkan dalam kehidupan bermasyarakat. Memang banyak kenyataan sampai saat ini dengan adanya perbedaan pendapat dapat menimbukan pembunuhan, pertikaian, dan perkelahian. Nah kondisi seperti ini tentunya tidak mengasaskan bahwa perbedaan pendapat bukanlah dimensi budaya global. Jika seseorang berkeyakinan bahwa perbedaan pendapat adalah harmonisasi budaya global, maka perkelahian, pertikaian, dan pembunuhan tidak akan terjadi. Kesalahan persepsi awal yang menganggap bahwa perbedaan pendapat bukanlah budaya gelobal akan mengakibatkan hal-hal negatif tersebut terjadi. Justru sebaliknya jika antarindividu yang berpendapat sudah diapersepsi bahwa perbedaan pendapat dijadikan sebagai harmonisasi budaya global, maka beberapa hal negatif tersebut tidak akan terjadi.
Perbedaan pendapat antara individu yang satu dengan individu yang lainnya dapat mengontrol rasa kemandirian seseorang. Adanya perselisihan tersebut membuat individu semakin mampu memanageman emosinya agar dapat berpikir dengan baik, dengan rasionalisasi yang mementingkan kemashalatan orang banyak. Hal inilah yang mengakibatkan bahwa perbedaan pendapat menimbulkan rasa mandiri yang lebih baik, terutama seseorang mampu memanageman emosinya terhadap pendapat orang lain. Melakukan pengawasan terhadap emosi diri merupakan salah satu realisasi dari rasa kemandirian individu. Semakin ia mampu mengontrol emosinya, maka tingkat kemandiriannya dalam mengatasi masalahnya dapat berjalan dengan baik, namun justru sebaliknya, jika seseorang tidak mampu memanageman emosi ketika terjadinya perbedaan pendapat memberikan penilaian kepada kita bahwa individu tersebut belum mandiri. Kemandirian adalah salah satu dimensi-dimensi budaya global. Budaya global sangat mementingkan rasa kemandirian. Kemandirian yang terjadi saat perbedaan pendapat dijadikan sebagai harmonisasi antar individu dalam mengatasi permasalahan yang terjadi pada kondisi ketidak seimbangan pikiran.
Dimensi budaya global berikutnya dalah kesopanan. Perbedaan pendapat tidak hanya dapat meningkatkan rasa kemandirian antarindividu, namun juga dapat meningkatkan kesopanan. Kesopanan antarindividu dapat terjadi akibat adanya perbedaan pendapat. Individu yang sudah memiliki rasa kemandirian yang baik justru juga sudah menyadari kesopansantuanan yang baik, karena kemandirian dan kesopansantunan merupakan sikap yang muncul secara proses pada diri manusia. Kedua konsep iti tidak dapat dipidsahkan, seseorang yang mandiri sudah dapat dikatakan santun, mengapa karena seseorang yang sudah mandiri mampu meberpikir dan bertindak dengan berasaskan rasio dan nalar. Namun sebaliknya jika kemandirian sesorang tidak membaik maka sopan-santunnya juga akan rusak, mengapa ketidak mampuannya berpikir dengan baiklah yang mengakibatkan pola tingkahlakunya tidak lagi dianggap kebiasaan yang wajar.
Perbedaan pendapat dijadikan sebagai media untuk membentuk rasa sopan terhadap orang lain. Seseorang yang menyampaikan pendapat sangat memperhatikan tingkat kesopan santunan dirinya dihadapan orang lain. maksudanya seseorang melakukan kegiatan bertutur sangat dipengaruhi kesopanannya dalam menyampaikan maksud dan tujuan. Semakin tinggi kesopanan yang digunakan maka akan semakin membuat pendengr terpengaruh akan apa yang disampaikan. Hal inilah yang membuat bahwa perbedaan pendapat diapersepsikan sebagai pembentuk kesopanan yang mambaik.
Berpendapat bukanlah pekerjaan yang mudah, seseorang dalam mengemukakan pendapat memerlukan peikiran dan nalar yang baik. Jika seseorang tidak memiliki pemikiran dan penalaran yang baik ia tidak mampu mempengaruhi pendengarnya akan pendapat yang ia sampaiakan. Namun sebaliknya, jika seseorang memiliki tingkat berpikir dan bernalar yang baik maka secara mudah ia dapat mempersuasi pendengar dengan memanfaatkan sarana-sarana bahasa sebagai mediannya. Jadi, berpendapat bukanlah pekerjaan yang mudah, namun diperlukan proses berpikir dan bernalar yang baik terhadap apa yang ia sampaikan.
Proses berpikir dan bernalar terhadap penyampaian pendapat inilah yang akan membantuk kesopanan terhadap bentuk tuturan yang disampaikan. semakin terampil seseorang berpikir dan bernalar maka semakin tinggi pula tigkat kesopanan terhadap tuturan yang ia sampaikan. Oleh sebab itu, perbedaan pendapat dijadikan sebagai sarana pembentuk kesopanan yang lebih baik, karena proses penyampaian pendapat bukanlah pekerjaan yang mudah, namun diperlukan proses berpikir dan bernalar yang baik.
Adaya kesopanan hasil akibat dari terjadinya perbedaan pendapat justru dapat menimbulkan harmonisasi antarindividu dalam bermasyarakat. Semakin santun seseorang dalam menyampaikan pendapat maka tingkat harmonisasi akan solidaritas tersebut semakin tinggi. Jadi, perbedaan pendapat pada dimensi kesopanan membentuk budaya global yang dapat membentuk budaya santuan yang dianggap kebiasan wajar pada kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan beberapa pernyataan yang telah dikemukakan, dapat dinyatakan bahwa perbedaan pendapat dijadikan sebagai pembentuk harmonisasi budaya global. Adanya kebiasaan-kebiasaan yang wajar tersebut membuat pola-pola berpikir masyarakat yang dianggap dapat diterima secara umum oleh masyarakat. Perbedaan pendapat dijadikan sebagai sarana atau media untuk membentuk harmonisasi budaya global. Peroses harmonisasi ini tidak berdampak langsung terhadap masyarakat, tetapi melalui proses pembaharuan yang bersifat lambat, hal tersebut mungkin terjadi tanpa disadari oleh antarindividu atau masyarakat. Perbedaan pendapat diyakini dapat memebntuk berbagai dimensi harmonisasi budaya global, misalnya munculnya budaya menghargai orang lain, kewaspadaan akan pendapat orang lain yang tinggi, kemandirian, dan kesopanan.









Jumat, 09 Desember 2011

CAMPUR KODE


HAKIKAT CAMPUR KODE
A.    Konsep Campur Kode
Campur kode merupakan situasi pengguanaan suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai pencampuran bahasa. Campur kode dapat juga dinyatakan pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian bahasa dalam suatu situasi tertentu. Berdasarkan KBBI (2005:190) “Campur kode merupakan penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom, dan sapaan.” Berdasarkan konsep tersebut dapat dinyatakan bahwa campur kode merupakan peristiwa pencampuran bahasa pada situasi atau konteks tertentu. Pencampuran bahasa tersebut bertujuan memberikan pemahaman yang lebih jelas terhadap konteks atau maksud yang ingin disampaiakn dalam pembicaraan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa campur kode menitikberatkan pada penggunaan atau pemakaian satuan bahasa ke dalam bahasa lain berdasarkan situasi tertentu dan bertujuan memperluas gaya atau memperindah situasi tutur.
            Menurut Nababan (1986:32) “Campur bahasa merupakan mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindakan bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam keadaan yang demikian, hanya kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti.” Berdasarkan peryataan tersebut dapat dinyatakan bahwa pencampuran bahasa tidak dipengaruhi oleh situasi berbahasa. Hal ini tidak sejalan dengan konsep campur kode yang ada dalam KBBI yang telah dikemukakan. Berdasarkan konsep Nababan mengenai campur kode, situasi tutur tidak berperan penting dalam mempengaruhi campur tutur. Justru kesantaian dan kebiasaanlah yang menentukan atau mempengaruhi seseorang dalam melakukan campur kode. Auzar dan Hermandra (2006:49) memperjelas bahwa campur kode adalah kegiatan mencampur dua bahasa atau lebih dalam suatu tindakan berbahasa.
Nababan (1986:32), ciri yang menonjol dalam peristiwa campur kode adalah kesantaian atau situasi informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi saat berbicara santai, sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali terjadi. Apabila dalam situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan tidak adanya istilah yang merajuk pada konsep yang dimaksud. Seperti telah disebutkan bahwa kode dapat berupa idiolek, dialek, register, tindak tutur, ragam, dan registrasi, maka unsur-unsur yang bercampur pun dapat berupa varian bahasa maupun bahasa itu sendiri. Selanjutnya, Chaer dan Agustina  (1995:152) menyatakan konsep campur kode, “Apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hyibrid clauses hybrid pharases), dan masing-masing klausa atau frase tidak lagi menduduki fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah camur kode.”
Berdasarkan beberapa konsep mengenai campur bahasa dapat dapat dinyatakan membali bahwa campur kode merupakan penggunaan atau pemakaian dua bahasa atau lebih dalam situasi tertentu. Pemakaian dua bahasa atau lebih ini dapat berwujud kata, frase, klausa, ungkapan, dan idiom. Pemakaian hal-hal tersebut bertujuan menimbulkan gaya terhadap sebuah tuturan.  Gaya atau cara yang digunakan dihubungkan dengan wujud campur kode, dan membatasi wujud campur kode tersebut terhadap situasi dan tidak lagi menduduki fungsi-fungsi sendiri.

B.     Wujud Campur Kode
Dalam berkomunikasi, seringkali penutur menggunakan dua bahasa (campur kode). Campur kode yang digunakan dapat berupa penyisipan kata, frasa, atau klausa. Contoh campur kode yang digunakan guru dalam proses belajar mengajar adalah ”Sekarang kita ulangan bahasa Indonesia, ulangan kita sekarang open book, jadi kalian boleh melihat buku catatan atau buku paket”. Open book adalah bahasa Inggris yang artinya sistem ujian yang boleh melihat buku catatan atau buku paket.



C.    Tipe Campur Kode
Campur kode diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu, campur kode bersifat ke dalam (intern) dan campur kode bersifat keluar (ekstern) (Suwito, 1985:76). Dikatakan campur kode ke dalam (intern) apabila antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran masih mempunyai hubungan kekerabatan secara geografis maupun secara geanologis, bahasa yang satu dengan bahasa yang lain merupakan bagian-bagian sehingga hubungan antarbahasa ini bersifat vertikal. Bahasa yang terlibat dalam campur kode intern umumnya masih dalam satu wilayah politis yang berbeda.Contoh campur kode ke dalam (intern) dalam dialog sebagai berikut :(1)

“Nanti masnya matur dulu aja ke orangtua, kalo biayanya kurang lebih Rp. 300.000”.

Kata matur pada teks (1) adalah bentuk campur kode, penggunaan kata matur sebenarnya bisa dihindari sebab kata tersebut sudah ada padanannyadalam bahasa Indonesia, penggunaan kata matur sesuai dengan budaya yang berlaku didaerah tempat tuturan terjadi. Kata matur menunjukan perwujudan kedaerahan yaitu Jawa. Bahasa Jawa adalah bahasa yang hidup dalam wilayah politik sama dengan bahasa Indonesia, Bahasa Jawa juga memiliki hubungan genetis dengan bahasa Indonesia. Dengan demikian terbukti bahwa data tersebut adalah campur kode intern atau ke dalam.
 
Dikatakan campur kode ekstern apabila antara bahasa sumber dengan bahasasasaran tidak mempunyai hubungan kekerabatan, secara geografis, geanologis atau pun secara politis. Campur kode ekstern ini terjadi diantaranya karena kemampuan intelektualitas yang tinggi, memancarkan nilai moderat. Dengan demikian, hubungan campur kode tipe ini adalah keasingan antarbahasa yang terlibat.Contoh campur kode ekstern dalam dialog berikut.

“Data-data yang ada di phone memory kemungkinan akan hilang seperti nomor-nomor telepon, pesan, kalender dan catatan”.
Kata phone memory dalam teks berasal dari bahasa Inggris, bahasa Inggris tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan bahasa Indonesia, antara kedua bahasatersebut juga tidak ada hubungan genetis oleh sebab itu maka tipe campur kode pada kata tersebut adalah tipe campur kode keluar atau ekstern

D.    Faktor Penyebab Campur Kode
Campur kode (code mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan untuk mendukung suatu tuturan yang disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Gejala campur kode ini biasanya terkait dengan karakteristik penutur, misal, latar belakang sosil, pendidikan, dan kepercayaan. Setidaknya ada dua hal yang paling melatarbelakangi penggunaan campur kode. Faktor pendorong terjadinya campur kode oleh Suwito (dalam Maulidini, 2007:37-43) dapat dibedakan atas latar belakang sikap (atitudinal type) atau nonkebahasaan dan latar belakang kebahasaan (linguistic type)
Faktor  Nonkebahasaan (atitudinal type)
1.      Need for Synonim maksudnya adalah penutur menggunakan bahasa lain untuk lebih memperhalus maksud tuturan.
Contohnya sebagai berikut:

 CS : ”Hpnya blackmarket jadi tidak diperjualbelikan di Indonesia. Kalau di service selain datanya hilang ada resiko terburuk mati total, gimana?”

Blackmarket di sini sengaja digunakan oleh penutur untuk memberitahukan pada pelanggan bahwa hp tersebut termasuk dalam kategori hp selundupan.

2.      Social Value,yaitu penutur sengaja mengambil kata dari bahasa lain dengan mempertimbangkan faktor sosial.

Pada kasus disini penutur cenderung bercampur kode dengan bahasa asing yaitu bahasa Inggris dengan maksud menunjukan bahwa penutur merupakan seorang yang berpendidikan dan modern sehingga dalam berkomunikasi dengan pelanggan banyak menyisipkan kata atau istilah dalam bahasa asing.

CP         : “Mbak saya mau complain, Mbak gimana sih, data saya kok jadi hilang. Mbak tahu berapa banyak nomor-nomor penting di hp saya?”

CS : ”Maaf Bapak, diawal persetujuan service kemarin saya sudahkatakan bahwa kehilangan bukan menjadi tanggungjawab kami.Dan kemarin Bapak sudah menyetujui dan membubuhkan tandatangan diformrepairorder” ( sambil menunjukan bukti tandatangan)

3.      Perkembangan dan Perkenalan dengan Budaya Baru
Hal ini turut menjadifaktor pendorong munculnya campur kode oleh penutur, sebab terdapat banyak istilah dan strategi penjualan dalam bidang telekomunikasi yangmempergunakan bahasa asing. Sehingga hal ini mempengaruhi prilaku pemakaian kata-kata bahasa asing oleh penutur yang sebenarnya bukanmerupakan bahasa asli penutur.

CS : ” Maaf Bu, memorycardnya dibawa?”
CP :” Kan, saya tinggal disini kemarin, mbak”. 
CS:”Ibu, diformulir servicenya dituliskan bahwa semua kelengkapan hpnya tidak ditinggal.”



Faktor Kebahasaan (linguistic type)
Latar belakang kebahasaan yang menyebabkan seseorang melakukancampur kode disebabkan oleh hal-hal berikut ini :
1.      Low frequency of word,yaitu karena kata-kata dalam bahasa asing tersebut lebih mudah diingat dan lebih stabil maknanya.Contohnya adalah pada dialog:

CS :    “Kita disini menyediakan handset original untuk hp mas supayamenghasilkan suara jernih dan bagus.”

2.      Pernicious Homonimy, maksudnya adalah jika penutur menggunakankata dari bahasanya sendiri maka kata tersebut dapat menimbulkan masalah homonim yaitu makna ambigu. Contohnya dalam dialogberikut:

CS :    “Untuk  speakernya Ibu sudah kami urgentkan dipusat mudah-mudahan dalam minggu ini sudah datang dan hpnya bisa segera kami perbaiki.”

3.      Oversight, yaitu keterbatasan kata-kata yang dimiliki oleh bahasapenutur.
Banyaknya istilah dalam bidang telekomunikasi yang berasaldari bahasa asing menyebabkan penutur sulit menemukan padanannyadalam bahasa penutur. Contohnya: software, install, flash, restart, hang,blank 

4.      End (Purpose and Goal), yaitu akibat atau hasil yang dikehendaki.
 End (tujuan) meliputi membujuk, dengan meyakinkan, menerangkan. Untuk mencapai hasil tersebebut penutur harus menggunakan campur kode. Halini dapat dilihat pada beberapa contoh berikut:

CS : “Maaf Ibu ,untuk charger tidak bisa diservice, tapi kalo selama 6bulan dari tanggal pembelian dapat direplace tapi kita kirim ke jakarta, diganti charger baru .”




DAFTAR PUSTAKA

Auzar dan Hermandra. 2007. Sosiolinguistik. Pekanbaru: Cendikia Insani.

Alwi, Hasan dkk. 2005. Kamusbesar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Chair, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Renika Cipta

Maulidini, Ratna. 2007. Campur kode sebagai strategi komunikasi Customer service: Studi Kasus Nokia Care Centre Bimasakti Semarang ( Skripsi). Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro.
Nababan, PWJ. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.